Di sudut pasar kecil kota Banyuwangi, setiap pagi terlihat sosok tua dengan keranjang penuh balon warna-warni. Namanya Mbah Wiryo, usia 78 tahun. Tubuhnya ringkih, rambutnya putih seluruhnya, tapi senyumnya selalu mengembang setiap kali seorang anak kecil melirik balon di tangannya.
Tak ada yang menyangka, di balik pekerjaan sederhana itu, Mbah Wiryo telah membiayai sekolah lebih dari 25 anak yatim di kampungnya selama lebih dari 10 tahun. Ia bukan orang kaya. mg4d Ia bahkan tak memiliki rumah sendiri. Tapi hatinya? Lebih besar dari gunung.
Mengharukan: Hidup Serba Kekurangan, Tapi Hatinya Kaya
Mbah Wiryo hidup sebatang kara di sebuah gubuk bambu di tepi sungai. Istrinya meninggal 20 tahun lalu, dan anak semata wayangnya pergi merantau ke luar negeri tanpa kabar. Ia tak punya harta, tak punya pensiun, hanya punya sebuah sepeda tua dan ratusan balon yang selalu ia tiup sendiri setiap pagi.
Namun, sejak 2012, Mbah Wiryo menyisihkan penghasilannya untuk membelikan sepatu, buku, dan membayar uang SPP anak-anak yatim di kampungnya.
“Dulu saya lihat anak tetangga nggak sekolah karena orang tuanya meninggal. Hati saya nggak tenang. Saya pikir, kalau saya bisa jual satu balon sehari buat bantu mereka, kenapa tidak?” tutur Mbah Wiryo lirih, sambil mengelap keringat dari keningnya yang mulai keriput.
Menggugah: Balon yang Mengubah Masa Depan
Setiap balon yang dijual Mbah Wiryo seharga Rp2.000-Rp3.000 tampak biasa saja. Tapi bagi anak-anak yatim itu, balon-balon itu adalah tiket menuju masa depan.
Salah satu anak, Santi (15 tahun), kini duduk di kelas 2 SMP dan bercita-cita menjadi perawat. “Kalau nggak ada Mbah Wiryo, saya mungkin sudah berhenti sekolah sejak SD,” ujarnya sambil menahan tangis.
Setiap bulan, Mbah Wiryo mendatangi sekolah anak-anak itu untuk membayar iuran sekolah. Ia bahkan pernah menjual sepeda ontelnya agar bisa melunasi uang ujian salah satu anak. “Saya bisa jalan kaki. Tapi anak-anak ini harus bisa terus belajar,” katanya.
Menginspirasi: Memberi Tanpa Harap Kembali
Yang membuat kisah ini begitu menginspirasi adalah ketulusan Mbah Wiryo. Ia tidak pernah meminta imbalan. Ia tak pernah mencatat atau menuntut balik. Ia hanya ingin melihat anak-anak tersenyum, berangkat sekolah dengan tas dan buku di punggung.
Pak Lurah setempat bahkan mengaku baru tahu beberapa tahun lalu bahwa Mbah Wiryo telah membantu begitu banyak anak. “Kami sempat malu. Saat banyak orang sibuk dengan urusan sendiri, beliau diam-diam jadi pahlawan,” ujar Pak Lurah dengan mata berkaca-kaca.
Kini, setiap kali ada warga yang kesulitan biaya sekolah, mereka datang ke Mbah Wiryo. Dan meski uangnya sedikit, Mbah selalu bilang, “Kita bantu bareng-bareng, ya.”
Menghebohkan: Viral di Media Sosial, Dukungan Mengali
Suatu hari, kisah Mbah Wiryo diabadikan oleh seorang mahasiswa KKN yang kebetulan membeli balon darinya. Video yang menunjukkan Mbah Wiryo duduk di bawah panas matahari sambil meniup balon, disertai narasi tentang perjuangannya, viral di media sosial.
Ribuan orang membagikan kisahnya. Ratusan orang datang ke pasar hanya untuk membeli balon dari Mbah Wiryo, bahkan beberapa menit setelah pasar dibuka, semua balonnya ludes. Ada yang menangis, ada yang memberi donasi, ada pula yang mengirimkan perlengkapan sekolah untuk anak-anak yang ia bantu.
Salah satu lembaga zakat nasional pun datang langsung menemuinya dan menawarkan bantuan. Tapi Mbah Wiryo berkata: “Boleh bantu anak-anak, tapi uangnya jangan buat saya. Saya sudah cukup dengan Tuhan dan pekerjaan saya.”
Penghargaan Tak Tertulis: Dikenal Sebagai Pahlawan Sunyi
Pemerintah daerah kemudian memberikan penghargaan khusus untuk Mbah Wiryo sebagai Pahlawan Pendidikan Rakyat 2025. Ia diundang ke kantor kabupaten, dijemput dengan mobil dinas, sesuatu yang belum pernah ia alami seumur hidupnya.
Namun, di balik sorotan kamera dan tepuk tangan, Mbah tetap rendah hati. “Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya jual balon, tapi semoga bisa jadi jembatan buat anak-anak sampai mereka bisa berdiri sendiri.”
Anak-anak yang dulu ia bantu kini mulai tumbuh dewasa. Ada yang jadi guru honorer, ada yang kerja di minimarket, ada pula yang sedang kuliah di luar kota. Mereka selalu pulang saat Lebaran, bukan untuk membawa uang, tapi untuk memeluk dan mencium tangan Mbah.
Penutup: Ketulusan yang Menggerakkan Dunia
Kisah Mbah Wiryo adalah bukti bahwa kebaikan tidak perlu menunggu kaya. Bahwa dari tangan keriput seorang kakek penjual balon, bisa lahir puluhan masa depan yang terang.
MG4D:
- Mengharukan, karena kasih sayangnya tulus tanpa syarat.
- Menggugah, karena menampar hati banyak orang yang selama ini abai.
- Menginspirasi, karena mengajarkan bahwa sekecil apa pun kontribusi, bisa jadi besar jika konsisten.
- Menghebohkan, karena satu kisah sederhana bisa menggerakkan ribuan hati untuk berbuat kebaikan.
“Kalau saya mati nanti,” kata Mbah Wiryo pelan, “saya cuma ingin ada anak-anak yang tetap sekolah. Itu saja cukup.”
Dan dengan air mata yang jatuh tanpa suara, kita tahu bahwa dunia masih punya harapan — selama masih ada orang seperti Mbah Wiryo.